Sebuah Novel...yang penuh dengan emosi dan konflik batin pencarian jati diri
Sebuah Novel...tentang kisah seorang penulis pria-homoseksual yang berusaha kembali normal
Sebuah Novel...sarat filosofis mengenai manusia yang ingin tetap menggenggam jati dirinya dan kembali kepada TuhanNya
Sebuah Novel Fiksi ‘Pop-Sastra’ Pertama di Indonesia
Seorang pria bernama Ernie Pramudya. Rindu akan jati dirinya yang sesungguhnya sebagai seorang laki-laki sejati. Ia ingin meninggalkan kehidupannya yang lama. Hidupnya sebagai seorang biseksual.
Pernikahannya dengan designer asal London, George Sebastian, membuatnya berangsur-angsur tersadar dengan kualitas pencarian jati dirinya. Ia merasa naif. Tidak mencintai kaum hawa yang memang sudah kodratnya diciptakan untuk kaumnya. Ia merasa nista. Telah melanggar perintah Tuhan.
Dan, semua hal itu disadarinya saat ia jatuh cinta kepada seorang gadis yang bernama Ratnaningsih. Gadis bertubuh proporsional. Berkulit putih, berwajah mungil, dengan kacamata. Ia jatuh cinta pada gadis yang dipanggilnya Ning itu sejak pandangan pertama. Saat Ernie melihat Ning di cafe MaRooN.
Kisah ini juga memaparkan tulisan-tulisan Ernie tentang Ning. Dari mulai awal perkenalan, intrik yang mewarnai hubungan mereka, hingga berakhirnya kisah Ning dan sang penulis, Ernie Pramudya.
Secara garis besar, cerita ini menggambarkan konflik batin seorang Ernie. Seorang gay yang berusaha keras keluar dari orientasi seksualnya itu. Penuh emosional, kesensitifan, bahasa penuh romansa yang menggugah, juga konflik yang akan membuat pembaca bertanya-tanya mengenai kejadian selanjutnya.
Akankah Ernie kembali normal? Akankah Ernie bersama dengan Ning selamanya?
Semua jawabannya ada dalam cerita ini. Sebuah Novel Fiksi ‘Pop-Sastra’ pertama di Indonesia.
Jejak langkah menapak perlahan. Membekas masuk hingga rusuk kelembutan pasir. Mewarnai putih menjadi kotor. Menggantung di kulit kaki-kaki kasar. Meninggalkan sedikit nyeri di pori-pori. Tak dalam, namun terasa.
Masa lalu. Kenangan. Sesuatu yang tak akan pernah dapat ditepis. Tak akan tertinggal. Kadang menangis, kadang tertawa. Kadang sakit, kadang nyaman. Bagaikan kaktus yang mencintai gurun. Tak akan mudah mencabutnya. Karena sudah mengakar. Sudah terlambat. Sudah jauh. Sudah teramat dalam.
Duduk terpekur dalam tepian arus. Diantara logika dan kerinduan akan cinta. Berusaha bersabar mengukur waktu yang tak kunjung datang. Ku tahu ini dunia mereka. Ini bukan milikku. Aku tidak akan mampu menjamahnya. Meski jiwa dan ragaku ingin. Nafasku hanya sebatas kertas dan pena. Menulis imaji yang terus membayangiku hingga gila. Mengungkapkan hal yang tidak normal bagi khalayak. Mengaburkan kenyataan dalam mimpi yang bergejolak dan berbuih. Mengeluarkan ide layaknya letupan lahar kawah Tangkuban Perahu. Mengalirinya lewat sejuta kalimat bagai air sungai kotor yang rindu muara untuk bernaung. Bagai nada yang bergaung namun tak kunjung sampai di telinga. Hanya lewat batin. Nuraniku yang menjerit.
Dari situlah bisa kulihat. Dirimu…
*
Done! Now, I’m stuck. I don’t know what to say. Rasionality, and Passion. All I want to do is just to meet that body. That human. with my humanity. I love that human. Right now. I don’t know what will going later on. The thing I know, is now…
Sedikitku menghembuskan nafas. Bintik-bintik keringat sedari tadi menemani dalam keheningan yang sangat. Sepi batin yang merindukan seseorang. Walaupun lagu Hotel California terus mengalun berulang-ulang. Namun yang kudapat hanya erangan jangkring dan cicak. Sibuk bersahut-sahutan dalam mata batinku.
Tak terasa, sudah satu jam lamanya aku menulis. Tiga baris kalimat terakhir membuat imajiku buntu untuk berucap. Tak ayal aku tidak lagi memiliki wawasan untuk melanjutkan kata-kata dalam paragraf selanjutnya.
Speachless…
Lagi, jariku menekan tuts sebuah laptop bekas murahan. Sepertinya kata yang kurang pas. Hanya mewakilkan satu per milyar ekspresi hati. Aku menghapusnya. Menutup Microsoft…dan LCD Laptop. Seketika itu juga, lagu Hotel California yang berada di MP3 laptopku berhenti.
Kusenderkan punggungku pada sofa dengan kain penutup yang sudah mencuat ke sana ke mari. Menghembuskan kembali nafas lelah yang kesekian. Memandang suasana kota dari balik jendela hotel tanpa bintang.
Kuraih gelas kopi di samping laptop. Beranjak bangkit dari duduk sembari menenggak air hitam yang sudah sedikit. Meninggalkan bekas ampas mendeskripsi barisan semut di bibir merahku.
Kuraih handle jendela. Duduk di pinggirannya yang tak berteralis. Menghirup udara malam menjelang dini hari. Setidaknya lebih segar dari Air Conditioner lapuk yang terpasang di kamarku.
Mataku nyalang. Suasana malam bertabur cahaya lampu jalanan semakin merabun. Titik-titik embun otakku menutupi lukisan kota Metropolitan malam itu secara sempurna. Namun kembali membentuk. Puzzle itu kembali teratur. Tapi, anehnya, tidak seperti sebelumnya. Bukan Jakarta. Your face. Ning…
Secepat kilat kubangkit dari duduk. Kembali menghidupkan laptop. Meraih mouse. Mengarahkan pada folder pribadiku. Membuka file dengan label ‘Ning..’
Always and always you. Ning. Wajahmu…tubuhmu. Selalu mengecap sensualitas jiwa dan ragaku. Membangkitkan nafsu membara untuk kembali menyentuhmu. Walaupun hanya menyentuhmu dengan kata-kata. Hanya berbagi angin dan udara yang menyertaimu. Aku tak peduli.
Ning…imajiku. Fantasiku. Selalu berujung padamu. Selalu jelas bermuara pada dirimu. Dan hanya kamu yang selalu menggetarkanku.
Entah sampai kapan aku dapat bertahan dalam hutan berduri ini. Aku dan kamu. Kita. Aku tahu kita saling mencintai. Walaupun kamu hanya mengucapkan itu dengan berpura-pura bahwa L-O-V-E hanya sebuah unsur ketidaksengajaan. Tapi aku tahu Ning. Aku sangat mengerti yang ada dalam pikiranmu.
Kamu pasti setuju padaku.
U feel what I feel.
Dimana aku pernah menuliskannya untukmu.
U feel my pain…U feel my love…U feel me…And I know, both of we miss freedom.
Freedom to love.
*
Aku menemukanmu. Dalam jejak langkahku yang kesekian kalinya di cafe ini. Sendiri. Bergelut dengan duniamu sendiri. Menulis dan memikirkan hal-hal yang tak sanggup kulukiskan.
Di CafĂ© ‘MaRooN’.
Orang baru. Tapi cukup menarik perhatian. Gerai rambut hitamnya yang halus. Kulit kuning kecoklatan. Matang melapisi daging dengan jumlah proporsional mengisi rangka manusia.
Perfecto....
Kukecap lagi single-espressoku. Kutekan kembali tuts laptop murahanku. Kali ini mendongeng sang makhluk halus depan mataku ini. Makhluk berkacamata mungil. Yang tengah berfikir dalam, hendak menorehkan segaris tinta lagi dalam secarik kertas yang kukira masih belum penuh. Belum terisi satu halaman. Aku tahu, dia belum membalik kertas itu.
Are you a writer?
Kalimat pertama dalam tulisan pertamaku. Tentunya dalam ceritaku yang keseratus...kesekian. Aku tak sanggup menghitungnya. Aku hilang inspirasi. Kadung putus asa. Mencari berbagai sumber dari tempat-tempat baru yang jarang kukunjungi. Karaoke, bar, rumah-rumah kertas, mushola, masjid, gereja, pura, wihara, kamar mandi umum, bahkan bolak-balik lift rumah sakit di malam hari.
Namun ternyata...cafe ini tidak ada matinya. Kurasa, memang hanya disinilah tempat terciptanya inspirasi. Di sinilah Tuhan memberi hidayah dan mukjizatNya untukku. Ide. Hal yang sulit diraih oleh orang lain. Bahkan tak sedikit orang mengemis padaku meminta tolong mencarikan ide.
Entah mengapa aku selalu menemukan sang ide. Anugerah Tuhan yang sangat luar biasa untukku. Memetik ide dengan gampangnya. Dan ide akan sangat mudah kuraih di sini. Tidak di lift...tidak di kamar mandi. Di sini...di cafe ini. Dan saat ini, satu lagi ide tengah mendatangiku. Kamu. Gadis yang duduk kira-kira lima meter dari bangkuku.
Mata indah itu. Terus melahap langit-langit. Tak pernah mencari jalan untuk menatap bola mataku. Memang bukan itu tujuannya sebenarnya. Sebegitu indahkah langit buatan berdebu itu dibandingkan dengan mataku yang sedari tadi terus memperhatikanmu? Siapa kamu? Aku masih tidak tahu. Bagai jerapah yang diam. Berpikir menemukan cara menghancurkan pohon kelapa berbuah bulat.
Masih tidak punya keberanian aku ini. Asal kau tahu.. Api sedari tadi sudah membakar diriku. Mulanya hanya sebatas nyala korek. Tapi sekarang sudah unggun. Bantu aku memadamkannya. Tunjukkan aku keindahanmu yang lain. Agar aku benar-benar bernafsu untuk mendekatimu. Gadis..
Dua paragraf sudah tertulis. Tertera kini di LCD hanya dengan beberapa menit aku melihat makhluk ciptaan Tuhan yang indah ini. Sebuah maha karya yang sangat agung. Setidaknya di mataku. Entah di dalam garis mata orang lain. Apakah dia begitu berharga seperti yang saat ini sedang kurasakan. Benarkah ini betul-betul perasaan? Benarkah saat ini aku manusia sejati? Atau tak lebih dari sekedar kera? Yang memandang orang lain semata hanya karena nafsu.
Gadis itu kembali menulis. Entah menuliskan apa. Aku sangat penasaran. Tapi kaki ini tak sanggup menghentak. Ingin sekali mendekatinya walau beberapa menit saja. Berkenalan. Membaca tulisannya. Mengetahui dirinya lebih jauh. Jelas dan dalam.
Namaku Ernie, wahai gadis. Seorang laki-laki yang mengagumimu. Sudah aku membayangkan itu keluar dari bibirku beberapa menit ke depan. Aku laki-laki yang jatuh cinta padamu. Entah itu karena arti cinta pada pandangan pertama atau sekedar nafsu hewani semata.
Aku. Laki-laki yang sedang jatuh cinta pada pandangan pertama.
Aku berhenti. Kalimat sempurna yang seketika mengguncang separuh batinku. Laki-laki. Benarkah itu? Ya, aku laki-laki. Dan kini aku rasa, aku adalah laki-laki yang normal. Laki-laki sejati.
Aku menoleh ke bangku yang diduduki gadis tadi. Ia sudah tidak ada. Aku menemukannya sudah lebih jauh dari tempatku berada.
Ia berdiri di depan pintu masuk. Ia sudah meraih gagang pintu. Dalam hitungan detik ia menghilang. Meninggalkanku yang tercenung sendirian. Memikirkan penyesalan dan pencarian jati diri. Sirnalah sudah imaji beberapa menit ke depan.
Gadis itu sudah pergi.
*
Aku termenung. Kembali melihat layar laptop di hadapanku. Melihat kalimat terakhir yang kutulis. Sesaat sebelum gadis itu pergi meninggalkanku.
Aku. Laki-laki yang sedang jatuh cinta...
Laki-laki. Dan aku yang memang laki-laki ini seolah baru terbangun kembali dari tidurku yang panjang.
Aku menarik nafas dan menghelanya. Memejamkan mata sesaat.
Aku jatuh cinta pada seorang gadis. Untuk kesekian kalinya. Namun mungkin ini yang pertama dalam hidupku. Bisa jadi, dia yang memulai jejakku untuk menapaki hidup baru. Walau, itu tak mungkin. Tapi aku tahu, aku yakin, dan aku sadar, aku memang mencintainya.
Satu paragraf lagi. Kemudian kembali kumatikan laptopku. Seperti halnya berjam-jam lalu di cafe itu.
Tak berapa lama setelah gadis itu pergi. Aku juga ikut meninggalkan cafe itu.
Aku ingat, masih terasa hingga ke sukma desir-desir detak jantungku yang tiba-tiba menggagap. Dag..Dig..Dug..kira-kira begitu rasanya. Berdentam-dentam tak karuan saat aku menyusuri jalan kembali ke kost-anku.
Walaupun jarak tempat kost dengan MaRooN tidak terlalu jauh. Tapi aku masih merasakan keberadaan sang gadis jelita di sekitar tempat itu. Di jalan-jalan raya yang mulai senyap dan sepi.
Namun sayangnya, mataku yang mencari tidak dapat menemukannya. Gadis itu benar-benar sudah menghilang. Entah, aku tak tahu apakah ia akan kembali lagi ke MaRooN atau tidak. Untuk memberikan sedikit pemberian berupa pesonanya yang hanya beberapa saat untukku. Keindahannya yang membangun inspirasiku. Dimana kuharap sangat akan meraihnya kembali. Hingga kini.
Aku merebahkan diri di atas kasurku yang menurutku nyaman. Dengan mata nyalang penuh bintang. Bintang-bintang buatan glow in the dark yang kutaruh di langit-langit kamar. Melukisnya menjadi khayal yang indah.
Aku masih memikirkannya. Menggubah imaji menjadi lebih intim. Tentunya kepada gadis itu.
”Tilolit...Tilolit..”
Phone-Cellku berbunyi. Kulihat jam. Sebelas malam. Tanpa melihat LCD phone cell, aku sudah tahu siapa yang menelfonku. Aku hanya meraih hand-set.
”Hai George,” sapaku. Aku rasa sang penelfon sedang tersenyum sekarang.
”I miss you,” katanya. Suara itu mendesah. Terasa sangat nada rindu yang sedang menghujam di hatinya. Rindu itu, mendadak juga menghujam batinku. Spontan sang gadis terlupakan. Suara dari seberang terlalu menggoda.
”I miss you too.”
*
Kuhirup cappucino-latte. Jalanan di Barbican siang hari ini tidak terlalu ramai.
Barbican, pusat kesenian di London. Dan, sekarang aku berada di sana. Bergumul dengan harumnya cappucino di salah satu coffe-shop di kawasan itu.
Aku menunggunya. Menanti seseorang yang merindukan dan mencintaiku. Lima, empat, tiga, dua, satu...Itu dia. Yang selalu datang On-Time bila aku membutuhkannya. Apalagi jika aku berada di sini.
Di negaranya.
”Hey, honey.”, katanya.
Dia mencium keningku. Seperti biasa. Dan lumrah juga halnya bagiku, setelah kami melakukan adegan itu, berpuluh-puluh pasang mata akan memandang kami berdua.
”George.”, sahutku. Singkat.
”Kenapa tidak langsung ke apartemenku?”, tanyanya.
Aku mengaduk sedikit cappucino-latte. Aku menggeleng. ”Mau kopi?”, tanyaku.
George mengangguk, lalu menjentikkan jari ke pelayan, ”Double Esspreso.”, katanya singkat ketika pelayan sudah tiba di sampingnya.
”Aku ingin nonton. Temani aku.”, kataku.
”Sure. Banyak film bagus saat ini. Kau tidak membawa apa-apa? Berapa hari kau akan tinggal disini Ernie? Ah! Why you always like that? Sedikit sekali waktu yang kau habiskan untukku!”,katanya bertubi-tubi.
George memukul keras meja coffe-shop hingga air cappucino-latteku ikut bergoyang. Aku sedikit tersentak. Dia mulai sensitif.
”Er. Apakah kau tidak merindukanku di sana?”, tanyanya lagi.
Aku menatapnya sesaat. ”Aku sedang menyelesaikan novel terbaruku, George.”, kataku. Perlahan.
”Penulis bisa menyelesaikan novelnya di mana saja. Itu bukan jadi alasan, honey. Even..bila kau mengikuti saranku untuk menetap di sini, kau bisa jadi penulis besar. Tepatnya lebih dari yang kau dapat sekarang ini.”, tandas George.
”I know.”, kataku. Singkat.
Aku melihat pelayan menyajikan double-esspreso di hadapan George.
”So, kenapa? Kenapa kamu lebih memilih untuk berpisah denganku. Kau sadarkan, Er? Kita sudah...”
”Married.”, potongku.
”You know that!”, serunya. ”Dan, terus terang saja. Aku tidak tahan begini terus Er.”, ia menyesap perlahan double-esspresonya.
”I love you. And I always will. Sekarang aku khawatir perasaanku tidak lagi sama dengan dirimu. Kamu, sepertinya tidak lagi menginginkanku.”, lanjutnya. George menatapku tajam. Penuh selidik.
”Apakah kau melihat orang lain di mataku?”, tanyaku.
George terdiam. Raut wajahnya mengguratkan kesedihan. ”Mungkin. Jujur saja. Siapa orang itu? Dan bagaimana kelanjutan hubungan kita sekarang?”, tanyanya.
Aku terdiam sesaat. Menatap George. Lalu tertawa kecil. Aku meraih tangannya. Menciumnya. Menenangkannya.
”No one. But you.”, kataku.
Preview Pembaca
kuke.wordpress.com
Membaca karya solo Rien setelah duetnya dengan Thee dalam Hujan yang mampu mempesona saya
MaRooN [Luka Sang Penulis]
Tokoh utama novel ini bukan wanita, melainkan seorang pria, gay, penulis, penyuka warna maroon.
Meski penulisnya adalah seorang wanita, Rien bisa dikatakan cukup apik menggambarkan tokoh Er sebagai sentral dari novel ini.
Er yang “menikah” dengan George.. *pasangan gay-nya*
Er yang dipenuhi dilema ketika “jatuh-cinta” dengan Ning.. *kembali menjadi pria sebenarnya.. tertarik kembali pada kodratnya..*
Er yang dipenuhi dilema-kuadrat ketika kembali tertelan kenangannya dengan Aida.. *mantan kekasihnya..*
Er yang pada akhirnya tak-dengan-rela-dilepas George untuk bisa menjalani kehidupan normal seperti yang ia mau.
Er yang berakhir.. hemm.. cukup tragis mungkin(?)
Yup, MaRooN adalah segalanya tentang Er.. perjalanan Er.. menarik..
Secara keseluruhan novel ini cukuplah memuaskan saya
Meski jujur.. saya lebih suka Hujan sih
Tapi.. tetap bagus kok.. *well menulis itu bukan pekerjaan sebentar excellent sih menurut saya..*
jee771.multiply.com
"hmm, ceritanya beda dengan cerita berbau kriminalnya sebelumnya "hujan". ini lebih menjurus ke romans ya seperti drama percintaan hanya saja ini konfliknya lebih lengkap dan luas.
novel ini rasanya layak dikoleksi hehehe. walau pun ttg percintaan tapi rasanya agak2ada nuansa yang berbeda. antara realita atau hanya fiksi belaka."
goodreads.com - direct link
-Yosi-
" Pertama membeli novel ini adalah karena saya tertarik dengan sinopsis ceritanya. Seorang gay jatuh cinta pada perempuan. Penulisnya bertutur dengan menggunakan sudut pandang orang pertama sehingga cerita bergulir dengan menitik beratkan pada permainan emosi yang dirasakan tokoh utamanya.
Urutan plotnya cukup menarik menurut saya. Mulai dari sang "Aku" bertemu dengan si gadis yang mencuri hatinya, lalu pertentangan batin untuk memutuskan pasangan gay-nya, pertemuannya kembali dengan cinta pertamanya hingga vonis AIDS yang diterimanya. Sayangnya eksplorasi emosi dan perasaan tokoh utamanya (yang bernuansa puitis) justru membuat saya sedikit capek membacanya.
Mungkin karena memang saya nggak terlalu suka cerita dengan gaya bahasa sedikit puitis ^^"
0 komentar:
Posting Komentar